Di bangku sekolah, siswa diajarkan tentang tata surya, nama-nama planet, dan urutan jaraknya dari matahari. Mulai dari Merkurius hingga Neptunus, setiap anak dilatih untuk menghafal fakta ilmiah tersebut sejak dini. slot deposit qris Tapi pertanyaan sederhana muncul: mengapa kita menghabiskan waktu belajar tentang benda langit yang jauh, namun tidak diajarkan cara mengelola perasaan sendiri yang setiap hari kita rasakan?
Emosi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia hadir dalam bentuk marah, sedih, takut, bahagia, gelisah, dan ratusan bentuk lain yang kerap muncul tanpa aba-aba. Sementara itu, pendidikan formal masih minim memberi ruang untuk memproses dan memahami dinamika emosi. Maka, pertanyaan ini bukan tentang menyalahkan pelajaran astronomi, melainkan tentang ketimpangan fokus pendidikan.
Pengetahuan Kognitif Diutamakan, Emosi Diabaikan
Sistem pendidikan saat ini masih berakar pada paradigma lama: semakin banyak siswa menguasai data dan informasi, semakin tinggi kualitas pendidikannya. Pengetahuan kognitif dianggap lebih penting karena mudah diukur melalui ujian, angka, dan grafik capaian. Akibatnya, kurikulum padat dengan hafalan, rumus, dan teori, sementara pembelajaran afektif—termasuk pengelolaan emosi—jarang disentuh.
Siswa tahu bahwa Saturnus punya cincin dan Pluto tidak lagi dianggap planet, tapi mereka tidak tahu harus berbuat apa saat dihina temannya. Mereka bisa menjelaskan proses fotosintesis, tapi tidak tahu bagaimana mengatasi rasa cemas saat gagal. Ini menciptakan generasi yang cerdas di atas kertas, namun kesulitan memahami diri dan orang lain.
Emosi Tidak Pernah Netral, Tapi Selalu Hadir
Berbeda dengan planet yang diam di langit, emosi hadir dalam setiap detik kehidupan manusia. Ia memengaruhi keputusan, hubungan sosial, bahkan kesehatan fisik. Ketidakmampuan mengelola emosi dapat memicu stres, konflik, depresi, hingga kekerasan. Namun, karena tidak pernah dibahas di sekolah secara sistematis, siswa tumbuh dengan asumsi bahwa emosi adalah urusan pribadi yang tidak perlu dibicarakan.
Padahal, mengenali dan mengatur emosi adalah keterampilan hidup yang penting. Seorang anak yang bisa mengidentifikasi bahwa ia sedang merasa cemburu atau kecewa akan lebih mampu merespons situasi dengan cara yang sehat, dibandingkan anak yang hanya tahu bahwa Mars adalah planet keempat dari matahari.
Ketimpangan Kebutuhan dan Kurikulum
Sekolah seharusnya membekali siswa dengan keterampilan yang berguna dalam menghadapi dunia nyata. Tapi dalam praktiknya, banyak pelajaran yang justru jauh dari realitas hidup sehari-hari. Saat siswa menghadapi konflik keluarga, tekanan akademik, atau perundungan, tidak ada pelajaran yang secara langsung membekali mereka untuk menghadapinya.
Kurikulum emosional jarang menjadi prioritas. Guru pun sering kali tidak diberikan pelatihan khusus untuk mengajarkan kecerdasan emosional. Alhasil, sekolah lebih fokus menuntaskan silabus ketimbang memedulikan kondisi psikologis siswanya.
Negara dan Sekolah yang Sudah Memulai
Beberapa negara seperti Finlandia dan Denmark telah mengintegrasikan pendidikan emosional ke dalam kurikulum mereka. Di sana, anak-anak tidak hanya belajar matematika dan sains, tapi juga belajar tentang rasa kecewa, cara menyampaikan perasaan dengan aman, hingga teknik bernapas untuk menenangkan diri.
Sekolah-sekolah yang mengadopsi program ini melaporkan penurunan tingkat stres dan kekerasan, serta meningkatnya semangat belajar. Ini menjadi bukti bahwa pendidikan emosi bukan sekadar wacana lembut, melainkan kebutuhan konkret.
Bukan Pilihan, Tapi Keseimbangan
Belajar tentang planet tentu penting. Pengetahuan ilmiah membuka cakrawala dan menumbuhkan rasa ingin tahu. Tapi ketika pengetahuan itu tidak diimbangi dengan pemahaman emosi, maka siswa hanya akan tumbuh menjadi ahli informasi, bukan manusia yang utuh. Kemampuan mengatur emosi tidak kalah penting dari kemampuan berpikir logis, bahkan mungkin lebih penting ketika seseorang berhadapan dengan tekanan, kegagalan, atau situasi sosial yang rumit.
Kesimpulan
Sistem pendidikan saat ini masih terlalu fokus pada penguasaan fakta dan teori, namun belum cukup memberi tempat bagi pendidikan emosional. Menghafal planet bukan masalah. Masalahnya adalah ketika siswa tahu urutan tata surya, tapi tidak tahu cara mengelola rasa marah, kecewa, atau takut. Dunia saat ini membutuhkan lebih dari sekadar manusia cerdas; ia membutuhkan manusia yang utuh—yang mampu berpikir dan merasa, memahami sains sekaligus memahami diri. Ketika sekolah mulai mengakui pentingnya emosi, barulah pendidikan benar-benar menyentuh akar kehidupan.